Halaman

Kamu Kafir dan Kamu (Seharusnya) Bangga

sumber: https://www.bonhoa.com

Kafir, sebuah kata yang sebenarnya maknanya biasa saja. Tetapi menjadi luar biasa karena banyak orang ternyata sangat sensitif dengan kata yang berasal dari "Al Quran" ini. Termasuk oleh sebagian kaum muslimin. Padahal kaum muslimin tidak pernah alergi terhadap kata-kata serupa yang berasal dari kitab suci agama lain. Padahal kalau mau dipikirkan kembali, seharusnya mereka bangga disebut kafir. Kenapa?

Istilah kafir sendiri salah satunya adalah istilah yang digunakan di dalam Al Quran untuk menyebut orang-orang yang tidak meyakini setidaknya satu dari enam rukun Iman. Coba bagi saudara muslim saya, sebutkan ke-6 rukun iman... Hafal? Kalau tidak hafal maka ini adalah refleksi bagi Anda untuk introspeksi diri.

Oke rukun iman ada 6
Iman kepada Allah, Iman kepada Malaikat, Iman kepada Kitab-kitab Allah, Iman kepada Nabi dan Rasul, Iman kepada Hari Akhir, Iman kepada Qadha dan Qadr. 

Mereka yang tidak meyakini Allah sebagai Tuhan yang patut disembah dan diibadahi, dalam pandangan orang Islam mereka kafir. Mereka yang tidak megimani kebenaran Al Quran maka Islam memandang mereka telah kafir. Selanjutnya mereka yang tidak menerima kenabian Muhammad Sholallaahu'alaihi wa sallam juga telah kafir. Dan seterusnya.


Q: Jadi apakah makna kafir?
A: Artinya ketika umat Islam menyebut orang-orang yang kafir, sebenarnya kami menganggap mereka tidak berada dalam lingkup agama kami. Dan mereka bukan bagian dari agama Islam. Sampai di sini, mengapa mereka harus marah bila kami tidak menganggap mereka muslim? Bukankah mereka memang bukan orang Islam? Jadi apakah sebenarnya mereka telah marah terhadap kebenaran yang kami sampaikan?

Oke, yang kedua. Kami juga bukan bagian dari agama mereka. Saya yakin, ketika saya menyatakan diri "Saya tidak mengimani keilaihian Yesus." atau "Saya tidak mengimani adanya dewa brahma, dewa whisnu dan dewa siwa." atau "Saya tidak mengimani keberadaan Buddha Gautama." dan sebagainya, tentu pernyataan ini akan membuat saya dikeluarkan dari lingkaran keagamaan mereka bukan? Dan saya akan dianggap "kafir" dalam versi agama mereka. Jadi apanya yang salah? Tdak ada karena saya memang bukan bagian dari agama tersebut.

Q: Apakah ketika mereka kafir, mereka termasuk ahli neraka?
A: Dalam keyakinan Islam, ya mereka akan masuk neraka dan kekal di dalamnya. Tetapi, mengapa mereka harus risau? Toh mereka juga tidak meyakini surga dan neraka-nya versi Islam. Bahkan jika ada rekan saya mengatakan "Kamu tidak akan selamat jika tidak mengakui keilahian Yesus". Saya akan jawab, tidak mengapa karena kita memiliki keyakinan yang berbeda dan secara dasar agama pun berbeda. Untuk apa mempermasalahkan hal-hal yang kita sama-sama tidak meyakini satu sama lainnya?

Q : Mengucapkan "Hai Kafir" adalah perbuatan yang tidak toleran.
A : Mohon bedakan antara menyebut dan memanggil.  Kita mungkin memiliki seorang kawan yang suka berdusta. Tetapi tidak mungkin kita panggil dia dengan pendusta atau memanggil mereka yang pincang dengan panggilan "hai pincang" padahal mungkin kita akan menjawab "Si A yang pincang?" ketika seseorang bertanya "Kamu tahu siapa si A?". Dari pernyataan tersebut dapat ditarik kesimpulan, sebutan adalah sebuah nama yang disematkan terhadap kondisi tertentu yang ada pada seseorang. Sedangkan panggilan adalah sebuah nama yang disematkan kepada seseorang sebagai identitas khusus baginya dan atas keinginan yang dipanggil. Jadi tentu saja tidak pantas bagi siapapun untuk memanggil orang di luar agamanya sebagai kafir atau "Hei Kafir". Tetapi menyebut mereka kafir adalah keniscayaan karena sebutan itu ditetapkan atas kondisi yang ada pada dirinya. Kondisi mereka saat ini tidak sedang mempercayai dasar-dasar agama Islam maka memang kondisi seperti ini membuat seseorang pantas disebut kafir terlepas dari dia mau atau tidak dipanggil dengan sebutan itu. Tetapi tetap dalam hal panggilan, kita harus mengutamakan memanggil dengan panggilan yang ia inginkan dan ini adalah adab yang diajarkan di dalam agama Islam pula. Lain halnya jika dia mau dipanggil kafir, maka tidak ada masalah dalam hal ini karena dia memang ikhlas dipanggil dengan panggilan tersebut.

Mewujudkan toleransi antarumat beragama bukan berarti kita harus mengalah dan mengganti terminologi yang sudah paten dari kitab suci menjadi terminologi lain yang menurut budaya kita lebih halus. Bukan. Ini sama saja dengan sikap intoleran yaitu memaksakan kehendak atas hak menjalankan keyakinan beragama. Ya gimana, wong sebutan kafir adalah sebutan yang berasal dari agama, kemudian menjalankan ajaran agama adalah hak setiap warga negara. Jika kemudian kita memaksakan pemikiran manusia untuk menekan kebebasan beragama ini lah yang menjadi sebab kericuhan antar umat beragama. Sikap intoleran beginilah yang menjadi pemicu. Ketika kita umat muslim dipaksa untuk meninggalkan ajaran agamanya atau dipaksa mencampuri urusan ibadah agama lainnya.  Padahal jelas, prinsip toleransi umat Islam, untukmu agamamu, untukku agamaku.

Sikap yang benar terkait polemik kafir adalah menjelaskan kepada mereka yang berada di luar Islam bahwa makna kafir itu adalah begini dan begitu. Sehingga kita semua memiliki presepsi yang wajar terhadap kata kafir. Tidak perlu merasa terzolimi hanya karena dianggap tidak masuk surganya agama lainnya. Mengapa kita mengharap masuk surga agama lain sedang kita tidak mau menjalankan pokok-pokok agamanya? Saya yakin, Anda tidak akan tersinggung jika dikatakan Anda tidak lulus Stanford atau Harvard University karena memang Anda tidak berkuliah di sana bukan? Oleh karena itu jika kita ingin masuk surga agama tertentu ya pindah agama saja kemudian jalankan pokok-pokok ibadah dan muamalah di agama tersebut. Kalau memang kita memilih tidak meyakini agama lain ya jangan marah bila dikatakan kita tidak akan masuk surga versi agama tersebut. 

Q:  Jadi, maksud judul postingan ini apa? Kok pakai kata bangga???
A:  Oke, sebelumnya sudah saya jelaskan bagaimana memandang makna kafir yaitu seseorang yang berada di luar agama Islam. Saya yakin juga bahwa agama lain memiliki terminologi serupa untuk menyebut kekafiran versi mereka. Jadi begini misalkan,

Saya menganggap Andy bukan muslim karena dia meyakini keilahian Yesus, dia tidak meyakini keesaan Allah, tidak beriman kepada Muhammad dan tidak mengakui Al Quran sebagai kitab sucinya. Sebaliknya saya juga tidak meyakini keilahian Yesus, saya berpendapat Allah bukan tritunggal dan dan Saya meyakini bahwa Al Quran telah menggantikan dan menyempurnakan injil dan menganggap injil tidak otentik.

Dalam hal ini, saya menganggap Andy sebagai kafir. Andy pun menganggap saya tidak akan diselamatkan oleh Yesus karena tidak meyakininya. Maka ketika saya keluarkan Andy dari keyakinan saya, tentu seharusnya Andy merasa senang karena dia bukan bagian dari orang-orang yang tidak selamat (saya) menurut versinya. Saya juga akan senang karena saya bukan bagian dari Andy yang saya juga meyakini bahwa Andy tidak akan selamat. Kita sama-sama berada di posisi yang selamat kan jadinya? Jadi sebenarnya menyebut kafir kepada orang yang jelas-jelas berada di luar agama kita sah-sah saja. Karena itu menegaskan posisi dan keyakinan kita sebagai umat beragama. 

Pada akhirnya sangat disayangkan, gembar-gembor dan kekisruhan akibat penyebutan kafir ini harus dibesarkan dan disebarkan oleh ormas yang mengaku Islam paling toleran dan moderat. Dan hal-hal semacam ini seperti menimbulkan luka pada hubungan baik yang terjalin antarumat beragama di negeri kita tercinta. Kami umat Islam yang menolak gembar-gembor ormas tersebut dikesankan tidak moderat dan tidak toleran oleh Ormas tersebut. Padahal kami yakin, andaikan mereka tidak berbuat yang aneh-aneh sampai mengutak-atik ajaran agamanya sendiri (agama kami juga), tentu istilah kafir ini hanya akan menjadi konsumsi kaum muslimin di masjid-masjid dan majelis-majelis kami saja. Tetapi karena mereka telah berkelakuan demikian dan kami merasa perlu bersuara sehingga mencuatlah istilah ini ke publik kemudian kami yang bersuara dikesankan tidak moderat dan tidak toleran. Padahal sebenarnya mereka sendirilah (ormas) yang telah berbuat tidak moderat dan tidak toleran dengan mengutak-atik ajaran agama kami.

Saya berharap sedikit yang saya tulis ini memberikan sedikit informasi yang menyeimbangkan dan tidak memecah hubungan muamalah dan kerukunan antarumat beragama di Indonesia. Saya memohon maaf bila terdapat kata-kata yang menyinggung. Penyebutan agama-agama selain Islam dimaksudkan agar tulisan lebih mudah dipahami dan tersampaikan maknanya. Terakhir dari saya, sebagai umat beragama yang cerdas, tentu kita seharusnya bisa membedakan mana ranah agama dan mana ranah sosial. Ranah hubungan sosial (muamalah) sangat bisa dilaksanakan tanpa harus memandang status agama kecuali sudah masuk pada ibadah dan pokok-pokok ajaran agama (akidah) maka di sinilah kita saling bertoleransi dengan menghormati keyakinan masing-masing.

Salam Persatuan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TERIMA KASIH ATAS KOMENTARNYA.

Peace Keeper 2

Plok plok plok Cup cup cup, ini salah si kodok Si kodok nakal ya....  Udah bikin si adek celaka Brak Brak Brak Rasain mejanya ku gebrak Cup ...