Halaman

Bicara tentang Pemilu 2019

Pemilu sudah berakhir, kita tinggal menunggu penghitungan hasilnya. Tapi sepertinya hasilnya sudah jelas, meski kedua kubu saling klaim kemenangannya masing-masing.

Pemilu tahun ini rasanya begitu berantakan. Entah mengapa tetapi saya merasa ada ketidakseriusan dari penyelenggara melaksanakannya. Kotak suara kardus menjadi salah satu indikator betapa pemilu kali ini rentan terhadap vulnerability. Mungkin pandangan penyelenggara menganggap dengan mudah rusaknya kardus menjadikan pemilu lebih aman dan lebih terjaga kecurangannya. Maksud saya begini, Anda tahu segel garansi? segel garansi dibuat dari bahan yang mudah rusak bukan? apalagi sampai di potong-potong kanan dan kirinya sehingga cover misalnya tidak akan bisa dibuka tanpa merusak segelnya. Rusaknya segel akan menggugurkan garansi barang kita. Jadi awalnya saya sempat berpikir mungkin kardus yang mudah rusak ini didesain untuk tujuan seperti itu. Tetapi ternyata, kardus tidak sama dengan segel garansi. Kardus sangat rentan terhadap pengrusakan. Bukan hanya sebatas pengubahan atau modifikasi data, tetapi pelenyapan. Jika ada yang menginginkan manipulasi suara, tinggal curi kardusnya dan bakar saja. Sudah terbukti bukan, ada banyak kasus perampokan dan pencurian kotak suara di berbagai wilayah Indonesia?

Pemilihan kardus sebagai kotak suara juga bertolak belakang dengan gencarnya ajakan untuk tidak golput. Di satu sisi, masyarakat diminta untuk menggunakan hak suara dengan menyebutkan kalau nyoblos itu keren, satu suara sangat berharga, tetapi faktanya suara yang berharga itu hanya dijaga oleh dinding kardus saja. Alasannya hemat anggaran tetapi di sisi lain, biaya pemilu kita tahun ini jauh lebih besar dibanding periode kemarin. Jadi apanya yang dihemat? Jika benar-benar mau hemat, gunakan kotak suara tahun lalu. Saya rasa kotak-kotak suara tahun lalu masih bagus-bagus kok karena berbahan aluminium. Tinggal menambahkan yang kurang-kurang saja.

Selain polemik kardus, saya rasa ketidakkercayaan masyarakat akan pemilu ini juga disebabkan oleh isu DPT siluman sebesar 17 juta jiwa ditambah banyaknya deklarasi terang-terangan pejabat daerah yang mendukung ke salah satu paslon. Dengan pernyataan sikap dan dukungan mereka yang condong ke salah satu paslon, akankah masyarakat yang memilih paslon lain merasa aman bila kotak suara yang rentan itu dititipkan ke mereka? Adakah jaminan tidak terjadi manipulasi data di tingkat pejabat kita? Runtuhnya kepercayaan masyarakat ini diperparah dengan penegakan hukum yang terkesan berat sebelah. Bukannya mengayomi masyarakat, bahkan malah terkesan menekan agar rakyat diam. 

Tapi mau bagaimana lagi, beginilah kondisi bangsa ini. Saya mencoba melihat dari dua sisi koin pun merasakan bahwa supremasi hukum tidak tegak dengan kokoh. Supremasi hukum cenderung condong ke penguasa atau yang pro dengan mereka. Aparat lebih percaya dan lebih waspada kepada isu khilafah dibanding komunisme. Padahal kedua isu tersebut masih berupa pepesan kosong belaka. Isu khilafah di Indonesia dibalut teror genosida ala ISIS.  Tetapi dalam hal ini saya tidak menyalahkan aparat, sepertinya ada sang komandan yang mengendalikan mereka. Meski para aparat, mereka sejatinya netral oleh undang-undang.

Mendamba pilpres yang ideal dimana masyarakat tertib terhadap hak suaranya, para penyelenggara juga amanah terhadap tugas-tugasnya, tidak ada kecurangan di mana pun, bagaikan pungguk merindukan Jupiter. Mustahil bin impossible. Inilah salah satu sebab yang menjadi dasar para ulama mengatakan bahwa sistem pemilihan pemimpin ala demokrasi itu buruk. Dimana selain berbiaya mahal, sistem ini rentan terhadap kecurangan dan manipulasi. Harga suara yang sama bahkan untuk sekelas ahli politik dan negarawan dengan orang gila menyebabkan buruknya hasil yang akan didapat. Calon pemimpin maju bukan karena dia terbaik, tetapi lebih karena dia terkenal serta memiliki elektabilitas yang tinggi dan elektabilitas tinggi dapat diperoleh dengan manipulasi informasi oleh mesin pembentuk opini publik; media.

Terakhir, pada tahun ini saya memutuskan untuk menggunakan hak suara saya setelah sebelumnya saya golput selama dua periode. Ada hal khusus yang membuat saya merasa perlu untuk menyumbangkan suara, tetapi meski begitu saya tidak menggantungkan nasib saya pada demokrasi. Saya menyepakati pendapat ahli ilmu bahwa sistem demokrasi adalah sistem yang buruk dan umumnya akan menghasilkan pemimpin yang buruk pula. Tetapi di periode ini di antara dua keburukan, saya memilih yang lebih ringan buruknya walaupun sedikit.

Sekian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TERIMA KASIH ATAS KOMENTARNYA.

Peace Keeper 2

Plok plok plok Cup cup cup, ini salah si kodok Si kodok nakal ya....  Udah bikin si adek celaka Brak Brak Brak Rasain mejanya ku gebrak Cup ...