Halaman

Aku Bhinneka Aku Pancasila

Aku bhinneka aku pancasila
aku ini berbeda dengan kamu
kamu pun tidak sama denganku
kalau kamu tidak mau ikut denganku
Kamu tidak bhinneka kamu tidak pancasila


Menggelikan bukan? Akhir-akhir ini kita sering dikocok dengan berbagai isu yang mengombang-ambingkan kita dalam lautan perseteruan dua kubu yang saling bersaing mengantarkan jagoannya ke singgasana. Suasana politik memang memanas, dan kedua kubu saling usaha menjatuhkan. Isu-isu dilemparkan ke publik, ketika terjadi pergolakan, mereka pun angkat tangan dan berdalih, "kami sedang tabayun, maka jika isu itu tidak tepat, cukup katakan yang sebenarnya". Pemikiran yang gawat sebenarnya karena ini sama saja dengan lempar batu sembunyi tangan. 


Dan lucunya, perseteruan kalangan elit ini juga merambat ke akar rumput. Memecah bangsa menjadi tiga kelompok besar. Mereka yang pro dan militan ke nomor 01. Mereka yang pro dan militan ke nomor 02. Dan lainnya, termasuk di dalamnya yang netral dan tidak peduli dengan yang terjadi. Masing-masing kelompok militan nan fanatik ini sudah seperti kaum-kaum pendosa yang kedatangan seorang Nabi. Ya, bagi mereka jagoan kami adalah Nabi yang membawa kebenaran dan jagoanmu adalah iblis yang membawa kesesatan. Makanya nggak heran, karena terselip lidah sedikit saja, bisa membahayakan. Sebut saja tagar-tagar provokatif yang bersliweran akhir-akhir ini.

Parahnya, perpecahan ini terjadi di negara yang penduduknya saling mengklaim mengaku paling pancasilais. Paling paham dan paling mampu mengamalkan pancasila. Sayangnya, pernyataan mereka hanyalah kosong belaka. Mereka merasa pancasilais ketika mereka baru mampu mengucapkan "selamat" kepada umat agama lainnya. Padahal nilai filosofis pancasila tidak sedangkal itu. Sila nomor 3 saja mereka masih kesusahan mengamalkannya. Lah bagaimana mau mengamalkan sila Persatuan Indonesia kalau disenggol dengan kata "presiden baru" saja mereka langsung keluar tanduknya? Bagaimana mau menjadi bangsa yang maju kalau menyebut kepada bangsa sendiri saja masih memakai nama-nama hewan? Melihat kenyataan yang seperti ini, saya menjadi tidak heran jika dahulu Belanda mampu menjajah kita selama 3,5 abad. Ya orang-orang kita tipikalnya sangat mudah dipecah belah dan sangat mudah disuruh melawan bangsa sendiri.

Setiap lima tahun sekali negara kita gelontorkan puluhan trilyun rupiah untuk mencetak jutaan lembar kertas-kertas bergambar tokoh-tokoh yang tidak kita kenal. Setelah sebelumnya kita dikotak-kotakkan agar saling beradu satu sama lainnya. Saling menghina dan saling membunuh karakter. Tak hanya negara, para tokoh di dalam kertas pun mengeluarkan biaya yang tak kalah mahalnya. Trilyunan rupiah mereka keluarkan untuk menjadikan dirinya maupun junjungannya mendapat tempat di lingkaran kekuasaan. 

Setelah semua biaya yang dikeluarkan, kita serasa tidak banyak membawa manfaat. Trilyunan  rupiah itu seperti menguap begitu saja. Tidak bersisa. Padahal andai dimanfaatkan untuk menunjang kehidupan bangsa tentu akan menjadi sangat bermanfaat. Bayangkan, ada berapa sekolah akan dapat dibangun dengan uang sepuluh trilyun saja? Berapa rumah sakit? Berapa keluarga yang tertunjang kesehatannya? Tentu banyak sekali bukan? Tetapi apa daya, dampak uang trilyunan yang paling nampak bagi kita adalah "Kamu kelompok kecebong" dan "Kamu kelompok kampret."

Saya teringat tentang proses penggantian raja di sebuah negeri. Ketika raja meninggal, mereka mengganti dengan cepat hanya dalam satu malam. Tidak terjadi hiruk pikuk di kalangan masyarakat. Tidak ada sebutan kami ingin raja ini kami ingin raja itu. Masyarakat tidak diwajibkan memilih orang yang mereka tidak kenal untuk memimpin mereka. Tanggung jawab memilih pemimpin pengganti ada di pudak orang-orang yang ahli. Dan suara mereka sangat dihargai. Tidak seperti di suatu negeri. Suara sekelas BJ Habibie harus seimbang nilainya dengan asal jeplaknya orang gila. Tapi memang sepertinya masih sangat mustahil menerapkan yang seperti itu ke negeri tercinta kita. Pergantian konstitusi adalah proses yang tidak mudah. Dan bisa menyebabkan pergolakan yang besar. Apalagi ada banyak orang yang sensitif terhadap metode kepemimpinan tertentu. Ya bangsa ini memang sangat sensitif. Seperti wanita yang kedatangan tamu bulanannya, bahkan lebih daripada itu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TERIMA KASIH ATAS KOMENTARNYA.

Peace Keeper 2

Plok plok plok Cup cup cup, ini salah si kodok Si kodok nakal ya....  Udah bikin si adek celaka Brak Brak Brak Rasain mejanya ku gebrak Cup ...