Warning: Tulisan ini sepenuhnya menurut pendapat saya dan tidaklah bersifat mutlak
Siapa
sih manusia yang tidak ingin menikah? Semua tentunya mendambakan untuk
menikah. Sebab Rasulullah bersabda bahwa menikah itu menyempurnakan
agama. Ya, menyempurnakan agama. Sebab ada banyak sekali ibadah yang
hanya bisa dilakukan selepas kita menikah. Sebagai contoh: Menafkahi
anak dan istri. Menafkahi anak dan istri dapat terhitung sebagai sedekah
bila diniatkan karena Allah. Dan itu hanya bisa didapatkan setelah
pernikahan. Bahkan salah satu dari tiga amal yang tidak terputus
meskipun sang manusia mati hanya didapat melalui pernikahan; Anak sholeh
yang mendoakan orang tuanya. Dan masih banyak lagi yang lainnya. Maka
tak salah bila Rasulullah menyebut bahwa pernikahan itu menyempurnakan
agama.
Namun masalah kesiapan menikah bagi individu berbeda-beda.
Terutama bagi laki-laki. Menikah bagi laki-laki bukanlah main-main.
Tidak seperti wanita yang barangkali siap sedia untuk menikah ketika
sudah lulus sekolah sebabnya mungkin karena tanggung jawab wanita dan
laki-laki dalam mengurus rumah tangga itu berbeda. Sejauh yang saya
pahami berikut adalah beberapa pertimbangan laki-laki sebelum dia
menikah.
1. Menikah bagi laki-laki berarti tanggung jawab besar
Seorang
laki-laki yang hendak menikah ia pasti berpikir akan sebuah tanggung
jawab besar yaitu mengurus istri. Terlebih bila nanti ia memiliki
anak-anak, makin besar tanggung jawabnya. Ia harus senantiasa
menyediakan nafkah utuk keluarganya. Ia harus memutar otak untuk dapat
menyediakan kehidupan yang layak bagi keluarga barunya. Di samping itu
mungkin dia juga menanggung biaya sekolah adik-adiknya. Atau biaya hidup
orang tuanya yang barangkali sudah tidak mampu mencari nafkah sendiri.
Makanya ada dilema besar bagi seorang laki-laki yang hendak menikah
yaitu bagaimana dia akan bertanggung jawab terhadap dua keluarga ini
atau bahkan tiga dengan keluarga istri. Maka jangan heran bila seorang
laki-laki sangat sulit memutuskan apakah akan menikah kapan dengan sang
gadis meskipun hasrat menikah itu ada.
Kekhawatiran di atas
sangat beralasan. Sebab seorang laki-laki yang telah menikah sekali pun
masih memegang kewajiban berbakti kepada orang tuanya. Terutama kepada
ibunya. Sedangkan di satu sisi ia punya kewajiban menafkahi istrinya
juga. Tak jarang pula terjadi percekcokan antar dua wanita. Yaitu antara
istri dan ibu sebab kedua wanita ini saling berebut perhartian si
laki-laki. Bila laki-laki tak mampu menanganinya bukan tak mungkin kelak
ia harus memilih satu di antara keduanya. Ini tentu saja berat.
Kecemburuan
sang ibu kepada istri tentu sangat wajar dan beralasan. Sang ibu yang
sudah mengandung dan membesarkan anak lelakinya dari yang semula lemah
tak berdaya hingga menjadi besar, kuat dan gagah; dari yang semula makan
harus disuapi kini telah mandiri dan mampu menghidupi dirinya sendiri.
Sungguh besar jasanya terhadap anaknya maka tentu bila ia menginginkan
agar anaknya menyayanginya di masa tua adalah hal yang wajar. Jangan
sampai sang anak lupa terhadap ibunya bahkan berlaku kasar terhadap ibu
demi wanita asing yang tidak berjasa apa pun ketika membesarkan sang
lelaki.
Namun kecemburuan istri juga beralasan sebab di sini ada
tanggung jawab besar seorang lelaki untuk menghidupi istri. Sebab
sebagaimana ibu si pria yang membesarkan anaknya, sang istri pun tentu
memiliki keluarga yang membesarkannya hingga menjadi wanita dewasa yang
mandiri. Tentu berat bagi ibu sang istri melepas anaknya untuk hidup
dengan pria asing yang baru dikenalnya. Ia tidak tahu asal-usulnya,
sifatnya, wataknya, aibnya namun dengan sepenuh hati ia lepas anaknya
untuk hidup dengan sang lelaki asing yang dipanggil anaknya suami. Wajar
kiranya bila istri menuntut kasih sayang suaminya sebab suaminya sudah
memisahkan dia dengan keluarganya. Wajar bila ia menuntut nafkah kepada
suaminya karena ia adalah tanggung jawab suaminya.
Bukankah
wanita itu ditanggung (untuk dididik) oleh empat orang
laki-laki?;Ayahnya, saudara laki-lakinya; suaminya dan anak laki-lakinya
sedangkan seorang lelaki bertanggung jawab terhadap empat orang wanita;
ibunya, saudara perempuannya, istrinya dan anak perempuannya.
Belum
lagi kalau ibu mertua ikut nimbrung dalam urusan rumah tangga. Tambah
pusinglah sang laki-laki. Sebab tentu tidak enak rasanya bila sang ibu
mertua ikut atur mengatur urusan rumah tangga. Di mana harga diri sang
lelaki? Namun kembali kepada poin bahwa ibu mertua adalah ibu istri tadi
maka hal ini masih wajar. Namun tetap saja tidak enak rasanya.
Kiranya
itulah di antara poin pertama yang membuat laki-laki berpikir keras
untuk memutuskan suatu pernikahan. Jangan sampai ia berbuat suatu
kesalahan yang menyebabkan ketegangan antara keluarganya dan keluarga
sang istri. Seperti misalnya memaksa untuk menikahi seorang gadis
padahal ibunya tidak menyetujuinya. Ini akan membuat hubungan antara
mertua dan istri menjadi renggang. Pada akhirnya rumah tangga yang akan
menjadi korban.
Di sisi lain tentu seorang laki-laki mengharapkan
memiliki istri yang mampu menjaga hubungan baik dengan ibunya. Sang
istri paham akan kewajiban sang laki-laki untuk berbakti kepada ibunya
tidaklah hilang meski ia sudah menikah. Dan sang istri harus mengerti
apabila sang laki-laki masih memiliki tanggungan terhadap adik-adiknya
sebab mungkin saja sang lelaki adalah anak pertama di keluarganya sedang
adik-adiknya masih kecil dan membutuhkan biaya besar yang tidak sanggup
dipenuhi oleh ayah ibunya.
Dalam kondisi di atas sang lelaki
selain ia harus mampu bersikap bijak ia tentu mengharapkan seorang istri
yang mau mengerti kondisinya. Yang tidak akan banyak menuntut namun
mampu menjalin hubungan baik dengan keluarganya. Sebagaimana seorang
lelaki pun dituntut untuk berbuat baik terhadap keluarga sang istri.
Wallaahua'lam
Bersambung kapan-kapan
Mohon maaf bila bahasanya berantakan. :D
Semoga bermanfaat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
TERIMA KASIH ATAS KOMENTARNYA.